1) Analisis Protein
Untuk
menganalisis kandungan protein yang terkandung dalam sampel, baik itu dari
nabati maupun hewani sering digunakan metode Kjeldahl. Metode ini memang paling
popular diantara metode lainnya seperti Enhanced Dumas method dan Methods using
UV-visible spectroscopy.
Keuntungan
menggunakan metode Kjeldahl adalah secara universal, metode ini digunakan
sebagai standart international dan digunakan sebagai pembanding metode lainnya.
Kekurangan
menggunakan metode ini adalah sulit memberikan hasil yang sebenarnya (true
value) protein, sebab prinsip pengukuran adalah mengukur semua kandungan
nitrogen yang ada dalam sampel dan tidak semua nitrogen tersebut berasal dari
protein. Sehingga untuk beberapa sampel tertentu dibutuhkan factor koreksi karena
masing-masing sampel memiliki perbedaan susunan asam amino (amino acid
sequences).
Analisis
protein dengan metode Kjeldahl dapat dilihat pada mekanisme reaksi diatas.
Reaksi tersebut secara umum dibagi menjadi 3, antara lain:
a) Digestion
Digestion
merupakan proses dimana semua protein yang terkandung didalam sampel
didestruksi (dipecah), sehingga ikatan peptide terpecah sampai terbentuk
ammonia dalam bentuk ion ammonium (NH4+). Dari hasil ini terbentuk
senyawa ammonium sulfat yang merupakan reaksi antara ion ammonium dengan asam
sulfat. Proses destruksi dilakukan dengan memanaskan sampel protein pada
temperature 370 C. Pada proses ini juga ditambah asam sulfat sebagai agen
pengoksidasi dan katalis untuk meningkatkan laju reaksi.
b) Distilasi
Proses
ini berfungsi untuk mendapatkan gas ammonia (NH3). Proses destilasi
dilakukan dengan cara menaruh hasil destruksi ke destilator. Pada proses ini
dilakukan dengan penambahan asam hidroksida (NaOH) sehingga hasil dari reaksi
NaOH dengan ammonium sulfat menghasilkan gas ammonia. Gas ammonia ini
dikondensasi sehingga menjadi destilat (cair), dimana destilat ini ditampung ke
suatu gelas kimia yang sudah terdapat asam borat. Hasil reaksi antara asam
borat dengan ammonia menghasilkan ion ammonium dan ion borat.
c) Titrasi
Langkah
terakhir dalam proses analisis protein adalah titrasi. Dengan perkembangan
teknologi saat ini proses titrasi ini dapat dilakukan dengan metode
potensiometri. Metode ini dilakukan dengan menggunakan electrode pH. Larutan
yang telah mengandung ion borat dititrasi dengan larutan HCl dan dilakukan
dengan metode potensiometri. Proses titrasi ini dilakukan sampai ion borat
menjadi asam borat dengan adanya ion klorida. Maka berapa jumlah asam klorida
yang digunakan akan berfungsi sebagai data untuk mengkalkulasi hasil protein
sampel tersebut.
2) Analisis Karbohidrat
a) Metode Luff Schoorl
Pengukuran
karbohidrat yang merupakan gula pereduksi dengan metode Luff Schoorl ini
didasarkan pada reaksi antara monosakarida dengan larutan cupper. Monosakarida
akan mereduksikan CuO dalam larutan Luff menjadi Cu2O. Kelebihan CuO akan
direduksikan dengan KI berlebih, sehingga dilepaskan I2. I2
yang dibebaskan tersebut dititrasi dengan larutan Na2S2O3.
Pada
dasarnya prinsip metode analisa yang digunakan adalah Iodometri karena kita
akan menganalisa I2 yang bebas untuk dijadikan dasar penetapan
kadar. Dimana proses iodometri adalah proses titrasi terhadap iodium (I2)
bebas dalam larutan. Apabila terdapat zat oksidator kuat (misal H2SO4)
dalam larutannya yang bersifat netral atau sedikit asam penambahan ion iodida
berlebih akan membuat zat oksidator tersebut tereduksi dan membebaskan I2
yang setara jumlahnya dengan dengan banyaknya oksidator (Winarno 2007). I2
bebas ini selanjutnya akan dititrasi dengan larutan standar Na2S2O3
sehinga I2 akan membentuk kompleks iod-amilum yang tidak larut dalam
air. Oleh karena itu, jika dalam suatu titrasi membutuhkan indikator amilum,
maka penambahan amilum sebelum titik ekivalen. Titrasi itu dihentikan bila
telah terjadi perubahan warna dari biru tua menjadi putih.
b) Metode Munson Walker
Penentuan
gula reduksi cara Munson-Walker dipakai untuk penentuan glukosa, fruktosa, gula
invert, laktosa monohidrat dalam bahan yang baik bahan pangan yang tidak
mengandung sakarosa ataupun bahan pangan yang mengandung sakarosa.
Penentuan
gula reduksi Munson-Walker adalah penentuan gula reduksi yang didasarkan atas
banyaknya endapan Cu2O yang terbentuk. Jumlah Cu2O
ditentukan dapat ditentukan melalui dua cara, yaitu secara gravimetris dengan
menimbang langsung endapan Cu2O yang terbentuk dan secara volumetris
dengan titrasi menggunakan larutan Na-thiosulfat atau K-permanganat. Setelah
jumlah Cu2O ditentukan lalu gunakan tabel Hammond untuk mengetahui jumlah gula
reduksi yang terkandung dalam bahan tersebut.
Dalam
penentuan Gula Reduksi cara Munson-Wakler ada tiga langkah yang harus
dilakukan. Langkah-langkah dalam menentukan gula reduksi cara Munson-Walker
adalah penyiapan larutan sample/contoh dan pembentukan endapan Cu2O, penentuan Cu2O
secara gravimetris, danpenentuan Cu2O secara volumetris dengan
larutan Natrium-thiosulfat.
c) Metode Lane Eynon
Gula
pereduksi dalam bahan pangan dapat ditentukan konsentrasinya berdasarkan pada
kemampuannya untuk mereduksi pereaksi lain. Analisis gula pereduksi dengan
metode Lane-Eynon dilakukan secara volumetri dengan titrasi/titrimetri. Metode
ini digunakan untuk penentuan gula pereduksi dalam bahan padat atau cair
seperti laktosa, glukosa, fruktosa, maltosa.
Metode
Lane-Eynon didasarkan pada reaksi reduksi pereaksi Fehling oleh gula-gula
pereduksi. Penetapan gula pereduksi dengan melakukan pengukuran volume larutan
gula pereduksi standar yang dibuthkan untuk mereduksi pereaksi tembaga (II)
basa menjadi tembaga (II) oksida (Cu2O). Udara yang mempengaruhi
reaksi dikeluarkan dari campuran reaktan dengan cara mendidihkan laruta selama
titrasi. Titik akhir titrasi ditunjukkan dengan metilen blue yang warnanya akan
hilang karena kelebihan gula pereduksi di atas jumlah yang dibutuhkan untuk
mereduksi semua tembaga.
d) Metode Nelson-Somogyi
Dalam
menentukan gula pereduksi dalam bahan padat atau cair perlu persiapan contoh gula
terlebih dahulu. Metode Nelson-Somogyi didasarkan pada reaksi reduksi pereaksi
tembaga sulfat oleh gula-gula pereduksi. Gula pereduksi mereduksi pereaksi
tembaga (II) basa menjadi tembaga (I) oksida (Cu2O). Cu2O
ini bersama dengan arsenomolibdat membentuk senyawa komplek berwarna.
Intensitas warna menunjukkan banyaknya gula pereduksi dengan pengujian
menggunakan λ=520 nm. Dalam metode ini digunakan pereaksi tembaga sulfat yang
mengandung Na2HPO4, K Na tartrat, NaOH, CuSO4,
Na2SO4 dan pereaksi arsenomolibdat yang mengandung
amonium molibdat, H2SO4, Na2H2SO4.7H2O.
Perhitungan
dalam metode ini adalah kandungan gula pereduksi dalam contoh ditentukan dengan
menggunakan kurva standar (hubungan antara konsentrasi gula standar dengan
absorbans) dan memperhitungkan pengenceran yang dilakukan. Apabila kandungan
gula pereduksi diketahui, maka kandungan gula non-pereduksi dapat ditentukan
sebagai selisih antara kadar total gula dengan kadar gula pereduksi.
3) Analisis Lemak
a) Metode Soxhlet
Metode
analisis kadar lemak secara langsung dengan cara mengekstrak lemak dari bahan
dengan pelarut organik non polare seperti heksana, petrolium eter, atau dietel
eter. Ekstraksi lemak ilakukan dengan cara refluks pada suhu yang sesuai dengan
titik didih pelarut yang digunakan. Proses refluks ini adalah pelarut secara
berkala akan merendam contoh dan mengekstrak lemak/minyak yang ada pada contoh.
Refluks dihentikan sampai pelarut yang merendam contoh sudah berwarna jernih
atau sudah tidak ada lagi lemak/minyak yang terlarut.
Jumlah
lemak/minyak pada contoh diketahui dengan menimbang lemak setelah pelarut
diuapkan. Jumlah lemak per berat bahan yang diperoleh menunjukkan kadar lemak
kasar yaitu komponen yang terkestrak oleh pelarut organik tidak hanya
lemak/minyak, tetapi juga komponen lain yang larut pelarut organik seperti
vitamin larut lemak (A, D, E, dan K) serta karotenoid.
Metode
ini dapat diaplikasikan untuk hampir smua bahan pangan. Bahan pangan tidak
banyak mengandung air dapat langsung dianalisis. Bahan pangan bentuk utuh dan
banyak mengandung air seperti daging atau ikan perlu dihidrolisis dengan asam
terlebih dahulu, dikeringkan, diekstraksi dengan metode ekstraksi.
Alat
yang diperlukan dalam metode ini adalah kertas saring, alat ekstraksi soxhlet,
labu lemak, oven, neraca analitik, kapas bebas llemak, desikator berisi bahan
pengering. Sedangkan pereaksi yang dibutuhkan adalam pelarut non polar
(heksana, petroleum eter), dan larutan HCl 25 %
b) Metode Weibull
Analisa
kadar lemak dilakukan dengan metode weibull telah ada pada SNI 01-2891-1992.
Langkahnya yaitu menimbang sampel ke dalam beaker glass kemudian menambahkan 30
mL HCl 25%, 20 mL aquades dan batu didih, didihkan selama 15 menit, selanjutnya
menyaring dalam keadaan panas. Residu hasil penyaringan dicuci dengan air panas
hingga tidak bereaksi asam lagi, penyaringan dilakukan saat masi panas karena
untuk menghilangkan sisa-sisa asam dari residu.
Kertas saring dan isinya
di oven pada suhu 100-105 C. Sampel harus dikeringkan karena adanya air dalam
sampel dapat menghambat kontak antara lemak dengan larutan pelarut, selain itu
apabila pelarut lemak yang digunakan bersifat menyerap air maka pelarut akan
jenuh dengan air sehingga proses ekstraksi tidak efisien. Residu sampel beserta
kertas saring dimasukan kedalam selongsong, dan diekstrak dengan heksana pada
suhu ± 80 C selama 3 jam. Selanjutnya, menyulingkan larutan heksana dan
mengeringkan ekstrak lemak pada oven dengan suhu 100-105 C kemudian
mendinginkan dan menimbang. Proses pengeringan diulang kembali hingga tercapai
bobot tetap.
c) Metode Babcock
Metode
ini digunakan alam menentukan kadar lemak contoh cair atau pasta. Metode ini
sering digunakan untuk menentukan kadar lemak pada susu segar. Lemak pada susu
berada dalam bentuk emulsi O/W. Emulsi pada susu dipecah dengan menggunakan
asam kuat (seperti H2SO4), sentrifugasi dan pemanasan.
Lemak susu akan terpisah dari komponen susu lainnya yang bersifat polar.
Lemak
susu akan berada di bagian atas permukaan contoh karena densitasnya lebih
rendah, sedangkan komponen polar contoh susu berada di bagian bawah contoh
karena densitasnya lebih tinggi. Contoh berbentuk pasta seperti daging dan ikan
segar perlu dilakukan proses penghancuran (digestion) menggunakan asam sulfat
pekat dengan waktu yang lebih lama dibandingkan contoh susu sehingga emak dari
jaringan bahan akan keluar dengan optimal.
Cara
dalam melakukan analisis kadar lemak metode Babcock perama adalah meletakkan
contoh di dalam botol Babcock yang telah dikalibrasi. Botol Babcock mempunyai
skala pengukuran (satuan volume). Lemak yang terpisah dari contoh dapat
ditentukan dari volume yang tertera di skala. Lemak dari contoh diekstrak
dengan cara merusak emulsi atau merusak jaringan bahan menggunakan asam sulfat
yang dikombinasikan dengan sentrifugasi dan pemanasan. Lemak yang terpisah
dapat ditentukan volumenya dengan botol Babcock.
d) Metode Mojonnier
Prinsip
dari penetapan kadar lemak metode Mojonnier ini adalah sampel yang dimasukkan
ke dalam tabung Mojonnier dilarutkan dengan etanol dan dihidrolisis dengan
amonium hidroksida membentuk asam lemak bebas yang selanjutnya diekstrak dengan
menggunakan pelarut organik dietil eter dan petroleum eter. Hasil ekstraksi
kemudian diuapkan pelarutnya dan dikeringkan dalam oven pada suhu 105 C sampai
diperoleh bobot tetap. Berat residu dinyatakan sebagai berat lemak dalam bahan.
Penggunaan metode ini dikarenakan metode ini mempunyai beberapa keunggulan.
Jika dibandingkan dengan metode yang lain seperti, metode soxlet metode
Mojonnier lebih cepat, memiliki tingkat akurat yang lebih tinggi dan alat-alat
yang diperlukan lebih sederhana.
This entry was posted
on 11.01.00
and is filed under
Analisis Organik,
Kimia,
Stembayo,
Tugas
.
You can leave a response
and follow any responses to this entry through the
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
.