“Rey, udah jam dua belas, tuh.
Katanya mau rapat buat persiapan lomba mading sekolah? Ntar kalo telat
diceramahi Pak Kusno, lho!” teriak Kak Zetta dari dapur. Uh, kebiasaan buruk.
“Bentar lagi, deh, Kak. Paling juga
belum pada dating. Lagian, anak-anak kelas IX juga belum pada pulang, kok.” jawabku
sambil tetap mantengin tivi.
“Yee, dibilangin, kok. Makin siang
makin panas, lho, Rey.” nasihat Kak Zetta yang udah nongol di sampingku. Dasar,
hobi ngagetin orang.
“Biarin, emang Kak Zetta mau siang-siang
gini ke sekolah? Mana anak-anak kelas IX pada ujian sekolah lagi.” ujarku
setelah meneguk segelas es sirup yang dibuat Kak Zetta. Hmm, seger…
“Ya nggak, lah, Rey. Itu, kan
deritamu.” kata Kak Zetta sambil haha-hihi.
“Ih, Kak Zetta nyebelin! Ya udah,
deh. Aku berangkat sekarang, ya, Kak Zetta sayang!” pamitku. Bener juga, tuh
kata Kak Zetta.
“Oke. Ati-ati, ya, Reyhan adekku sayang!”
jawab Kak Zetta. Aku pun segera berlalu.
Itulah suasana yang udah jadi menu
wajib buatku dan kakak sepupuku, Kak Zetta. Rasanya nggak afdol kalo tanpa menu
wajib itu. Namun, kalo udah kompak, kekompakan kami patut dicontoh, lho!
Sombong dikit boleh, kan?
***
Lima menit kemudian aku sampai di
SMP Harapan Pertiwi tercinta. Aku segera menuju ke taman bunga di depan ruang
guru. Temen-temenku udah pada siap sedia dengan semangat ’45.
“Kak Rey, kok, nggak pake seragam,
sih? Ntar diomelin babenya Mirza, lho!” tanya Vania.
“Tenang aja, nggak bakalan diomelin,
deh, Van.” jawabku nyantai. Vania mengangguk.
“Eh, siapa babenya Mirza?” tanya
Adel penasaran.
“Tuh, yang lagi berdiri di depan
kelas VII C.” jawab Vania sambil nunjuk ke lantai dua dimana terdapat sesosok
Pak Kusno yang lagi berdiri tegap memandang langit biru lazuardi.
“Eh, apa katamu? Enak aja! Saye tak
mau jadi anaknye, Vania!” sahut Mirza ala Upin dan Ipin. Nadanya lumayan
tinggi, tapi nggak merdu sama sekali.
“Udah, udah, nggak usah rebut!”
lerai Charis, “Mending kita ke kelas VII C aja, yuk! Tuh, udah diliatin Pak
Kusno.” lanjutnya. Kitorang nurut aja daripada Pak Kusno ngomel-ngomel.
***
Sejam kemudian rapat usai. Uh,
leganya… Rapat sama Pak Kusno emang nggak selancar kalo sama Bu Linda.
Ibaratnya bagaikan berkendara di jalan berbatu sama jalan tol yang beraspal.
Taka apa, masih mending beliau mau membimbing kami yang bandel, kecuali Charis
yang udah anteng dari sononya. Yang bikin aku jengkel, Pak Kusno belum pernah
nyebut namaku dengan baik dan benar. Katanya, sih, namaku kayak nama anak
cowok. Beliau malah sering manggil aku Hanun atau Hanun Dahlan. Kalo dieja jadi
H – A – N – U – N spasi D – A – H – L – A - N. Padahal, Hanun itu adek kelasku.
Dia sekelas sama Luki, sahabatku. Cowok pula. Gara-gara ini aku jadi diketawain
temen-temenku. Huft…
***
“Excuse
me, Boss. You have a new message.” hapeku berbunyi pertanda ada SMS masuk.
Ternyata dari nomor tak dikenal. Segera saja kubuka SMS itu.
“Kak, kemarin Pak Kusno nyuruh ke
sekolah lagi, nggak?” bunyi SMS itu.
Aku bingung. Siapa yang pagi-pagi
gini udah SMS? Ganggu misi orang aja, tapi tumben, lho kartuku bisa nerima SMS.
Biasanya susah banget dapet sinyal. Sial, baru empat bulan aku pake kartu itu udah
eror. Padahal, kartu itu menyimpan banyak kenangan, lho. Terpaksa, deh, ganti kartu.
Akhirnya kupastikan bahwa si empunya
nomor tak dikenal itu adalah Mirza. Soalnya, di antara tim lomba mading cuma nomornya
Mirza yang tak kupunya. Kusimpan nomornya di memori hape dengan nama Mirza
kemudian kubalas SMS Mirza pake kartu baru yang aku beli dua hari yang lalu di
konter hape utara warung bakso.
“Siapa? Mirza? Maaf, setahuku
kemarin nggak disuruh Pak Kusno ke sekolah, kok. Reyhan.” balasku.
Daripada cuma diem aja nungguin
balesan SMS dari Mirza, segera saja kulanjutkan misiku sebagai anak tunggal
yang baik hati. Apaan, tuh? Bantuin ayah ibu bersihin rumah, dong. Hehehe…
***
Sorenya, aku main ke rumah Kak Zetta buat nyobain
masakannya. Walaupun bercita-cita jadi seorang dokter, Kak Zetta hobi banget
sama yang namanya masak-memasak. Mungkin disamping buka praktik dokter juga
buka catering sekalian, ya? Siapa tau ada pasien yang mau punya hajatan, hahaha.
Nah, selain hobi masak, Kak Zetta itu hobi banget ngerjain orang, termasuk aku.
Aku pernah dikerjai habis-habisan, dua kali malah. Untung aku masih bisa sabar.
“Gimana, Rey, masakanku? Enak, nggak?” tanya Kak
Zetta dengan tatapan penuh harap.
“Enak, kok, Kak.” jawabku singkat, padat, dan jelas.
“Sip… Siapa dulu, dong, yang bikin. Zetta Patricia
gitu.” ujar Kak Zetta gembira.
“Idih, sombongnya mulai, nih?” sindirku. Kak Zetta cuma
senyum-senyum.
“Rey, aku mandi dulu, ya! Jangan kemana-mana, lho!”
ujar Kak Zetta sambil bergegas ke kamar mandi. Aku pun mengangguk.
Sambil nunggu Kak Zetta selesai mandi, aku nonton
tivi sambil SMS Mirza.
“Mirza udah kebagian buat rubrik apa aja?” tanyaku.
Beberapa saat kemudian ada SMS dari Bu Linda.
“Terserah kamu, Rey. Kamu, kan ketuanya.” bunyi SMS
Bu Linda. Dari mana Bu Linda dapet nomorku yang baru? Perasaan aku nggak SMS Bu
Linda, deh.
Nggak lama kemudian Kak Zetta udah ada di deketku
dengan pakaian nan rapi. Wangi pula. Tumben banget Kak Zetta kayak gini,
biasanya disuruh mandi pun sangatlah susah.
“Hayo, SMS siapa, tuh?” tanya Kak Zetta.
“Mirza, Kak.” ujarku.
“Oh, Mirza apa Mirza?” tanya Kak Zetta lagi.
“Mirza, Kak! Nggak percaya amat, sih! Nih!” ujarku
sambil menunjukkan hapeku pada Kak Zetta.
“Oh, iya, Mirza. Kukira…” Kak Zetta nggak
ngelanjutin kata-katanya.
“Kak Zetta kira siapa?” tanyaku penasaran.
“Nggak jadi, deh, Rey. Hihihi…” jawab Kak Zetta.
Aku tau siapa yang dimaksud Kak Zetta, pasti Luki.
Kak Zetta emang sering mikir yang aneh-aneh tentang kami, pikirannya pasti
kemana-mana. Padahal, aku dan Luki, kan, cuma sahabatan. Oh, iya. Kapan, ya, technical meeting buat lomba mading di
kabupaten? SMS Bu Linda aja, ah.
“Bu, technical
meeting buat lomba madingnya kapan? Reyhan.” tanyaku. Tak berapa lama
kemudian ada SMS dari Mirza.
“Aku nggak tau, jadwalnya ada di rumah. Aku lagi di Lembah
Hijau. Nanti aku kasih tau kalo udah pulang.” bunyi SMS itu.
“Lho, kok, di Lembah Hijau? Ngapain?” balasku.
Aku tambah bingung. Perasaan Mirza rumahnya di Bukit
Batu, deh? Kayaknya Mirza juga nggak punya family
atau temen sekelas yang rumahnya di Lembah Hijau. Kalo yang punya family di Lembah Hijau, kan, Bu Linda.
“Hah, Bu Linda?! Jangan-jangan nomor tak dikenal
yang kusangka Mirza punya itu nomornya Bu Linda? Ah, aku harus pulang sekaarang
juga buat nyelidiki ini. Aku nggak mau terjerumus lebih jauh lagi.” pikirku.
“Kak, aku pulang sekarang, ya! Ada urusan penting.” pamitku.
“Iya, aku tau. Pasti sama…”
“Bukan Luki! Daagh,
Kak Zetta sayang!” ucapku. Kak Zetta cuma geleng-geleng kepala.
***
Sampai di rumah, aku segera menjalankan rencanaku.
Kuambil secarik kertas. Kutulis nomornya Mirza di lajur kiri kemudian nomornya
Bu Linda di lajur kanan. Setelah kuamati beberapa saat, astaga! Ternyata
dugaanku benar, itu bukan nomornya Mirza! Itu nomornya Bu Linda yang kedobelan
gara-gara kecerobohanku tadi pagi! Pantes jadi eror kayak gini. Aku jadi nggak
enak sama Bu Linda. Duh, betapa malunya aku. Setelah ngerasa lebih tenang, aku
segera nelpon Bu Linda buat minta maaf.
“Halo, assalamualaikum… Bisa bicara dengan Bu Linda?”
“Waalaikumsalam… Iya, ini ibu sendiri. Ada apa, Rey”
“Mmm… Bu, maaf, ya, soal SMS-SMS tadi. Rey
bener-bener nggak tau. Waktu tadi pagi Ibu SMS Rey, Rey kira itu Mirza soalnya
Rey habis ganti kartu. Maafin Rey, ya, Bu?”
“Aku Bu Linda, Nak. Makannya ibu bingung setelah
baca SMS kamu. Iya, ibu maafin, kok, Rey.”
“Alhamdulillah… Makasih banyak, ya, Bu. Rey janji
nggak bakalan ceroboh lagi.”
“Iya, Rey. Nggak papa, kok.”
“Sekali lagi makasih, ya, Bu. Assalamualaikum…”
“Iya, waalaikumsalam…”
Uh, leganya… Kukira Bu Linda bakalan marah. Eh,
ternyata nggak. Syukurlah…
***
Keesokan harinya di sekolah, aku langsung bergegas
ke Kelas VII B buat ketemu Mirza. Tujuanku cuma satu, dapet nomornya Mirza yang
Asli. Setelah ketemu, kita langsung tukeran nomor hape. Yes, akhirnya dapet
juga. Hehehe.
***
Sepulang sekolah saat rapat persiapan lomba mading
sama Bu Linda di Kelas VIII B selesai…
“Mir, di sini ada dua Mirza, lho!” ujar Bu Linda.
“Hah, ada dua Mirza? Benarkah? Trus yang satunya?”
tanya Mirza dengan gaya khasnya yang dramatis.
“Aku… Iya, kan, Rey?” sindir Bu Linda.
Aku sebagai tersindir Cuma bisa menahan malu. Bu
Linda pun tersenyum ngeliat aku yang jadi salah tingkah. Untung deh, Mirza dan
yang lainnya nggak tau. Aku janji nggak bakalan ceroboh lagi!
***