Dua hari ini aku sering dibuat kesal oleh kemacetan lalu-lintas di beberapa ruas jalan raya di Kota Yogyakarta, terutama di Kecamatan Jetis. Kalau misalnya kemacetan itu terjadi di jam berangkat sekolah/kantor atau di jam pulang sekolah/kantor aku rasa hal tersebut wajar-wajar saja karena memang banyak masyarakat DI Yogyakarta yang bersekolah/bekerja di Kota Yogyakarta atau hanya seperti aku yang bertempat tinggal dan bersekolah di Kabupaten Sleman, tetapi harus melewati Kabupaten Bantul dan Kota Yogyakarta untuk menuju ke sekolah. Namun, saat ini kemacetan tersebut dapat terjadi setiap saat akibat alihfungsi trotoar menjadi lapak para PKL atau bahkan warung-warung semipermanen dan alihfungsi badan jalan sebagai tempat parkir. Hal tersebut pastinya tidak hanya terjadi di Kota Yogyakarta atau di Provinsi DI Yogyakarta saja, tetapi hampir di seluruh wilayah Republik Indonesia. Setuju atau tidak, alihfungsi fasilitas-fasilitas umum tersebut harus segera ditindaklanjuti demi kebaikan bersama. Bukan hanya kebaikan bagi masyarakat kelas atas saja, tetapi juga masyarakat kelas menengah dan masyarakat kelas bawah. Permasalahan yang terjadi antara trotoar, jalan raya, dan manusia di sekitarnya akan aku ulas dalam tulisan ini berdasarkan fakta-fakta yang ada dan opini pribadiku sendiri.
Trotoar dan Alihfungsinya
Menurut Wikipedia bahasa Indonesia, trotoar adalah jalur pejalan kaki yang umumnya sejajar dengan jalan dan lebih tinggi dari permukaan perkerasan jalan untuk menjamin keamanan pejalan kaki yang bersangkutan. Para pejalan kaki berada pada posisi yang lemah jika mereka bercampur dengan kendaraan, maka mereka akan memperlambat arus lalu lintas. Oleh karena itu, salah satu tujuan utama dari manajemen lalu lintas adalah berusaha untuk memisahkan pejalan kaki dari arus kendaraan bermotor, tanpa menimbulkan gangguan-gangguan yang besar terhadap aksesibilitas dengan pembangunan trotoar. (Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Trotoar)
Dari informasi di atas dapat disimpulkan bahwa trotoar ada karena para pejalan kaki membutuhkannya agar dapat merasa aman dan nyaman ketika melintas tanpa merasa khawatir akan tersenggol atau tertabrak pengguna jalan raya yang mengendarai kendaraan bermotor. Akan tetapi, kini semakin marak terjadi alihfungsi trotoar yang mengakibatkan hilangnya fungsi utama dari trotoar itu sendiri. Trotoar sebagai lapak PKL, trotoar sebagai lahan bagi warung-warung semipermanen, trotoar sebagai tempat parkir, bahkan trotoar sebagai jalur alternatif bagi para pengendara kendaraan bermotor merupakan beberapa bukti dari alihfungsi trotoar.
Alihfungsi trotoar menjadi sebuah titik perniagaan baik itu lapak PKL maupun warung-warung semipermanen dapat mengakibatkan kemacetan lalu-lintas di sekitarnya, mengapa? Kalau kecap, saos, dan sambal adalah pendampingnya soto, maka trotoar adalah pendampingnya jalan raya. Dengan alihfungsi trotoar menjadi sebuah titik perniagaan, pastilah di sekitar wilayah tersebut terdapat sejumlah kendaraan bermotor milik para pembeli yang diparkirkan di badan jalan. Contohnya adalah di sepanjang utara RS Panti Rapih (Jalan Colombo) dan di warung-warung permanen sepanjang tepi trotoar Jalan Dr. Sardjito, tepatnya di barat Jembatan Dr. Sardjito. Kalau di Jalan Colombo tidak terlalu mengakibatkan kemacetan karena ruas jalannya cukup lebar dan para pembelinya biasanya adalah keluarga pasien yang dirawat di RS Panti Rapih (Yang pastinya sudah memarkirkan kendaraan bermotornya di area parkir RS Panti Rapih). Hanya segelintir pembeli yang mampir langsung dan otomatis memarkirkan kendaraan bermotornya di bahu jalan dan biasanya hanya pada jam makan saja. Namun, lain halnya dengan suasana yang tersaji di Jalan Dr. Sardjito yang notabene ruas jalannya tidak selebar ruas Jalan Colombo dan hampir setiap saat selalu ada pembeli yang memarkirkan kendaraannya di bahu jalan. Aku tidak tahu sebenarnya apa yang dijual di warung-warung yang berdiri di tepi trotoar itu sampai-sampai mobil-mobil yang diparkir menjadi seperti sebuah kereta dengan banyak gerbong, tetapi yang jelas kesemuanya memiliki sebuah persamaan yaitu tidak memiliki tempat parkir sehingga harus memakan badan jalan untuk tempat parkirnya. Alihfungsi trotoar seperti inilah yang dapat merugikan para pejalan kaki dan para pengguna jalan raya.
Para pejalan kaki menjadi merasa tidak nyaman apabila harus berjalan di trotoar yang menjadi sebuah titik perniagaan. Kemungkinan mereka harus berebutan trotoar dengan para pembeli yang berkerumun di lapak PKL maupun warung-warung semipermanen sangat besar. Alhasil, para pejalan kaki kemudian memilih untuk melintas di badan jalan daripada harus naik-turun antara trotoar dan badan jalan. Padahal, terkadang badan jalan yang akan mereka lalui juga dijejali kendaraan bermotor milik para pembeli. Hal ini tentu dapat membahayakan keselamatan mereka karena berada langsung pada satu area dengan para pengguna jalan yang notabene menggunakan kendaraan bermotor.
Keselamatan para pejalan kaki yang terancam juga dapat terjadi pada trotoar yang mengalami alihfungsi menjadi tempat parkir atau bahkan digunakan beberapa pengendara kendaraan bermotor untuk melintas (Kalau di DI Yogyakarta aku rasa masih jarang untuk tipe alihfungsi trotoar yang seperti ini). Biasanya, alihfungsi trotoar menjadi tempat parkir terjadi pada area-area publik akibat kurangnya tempat parkir yang disediakan oleh pengelola area tersebut. Kalau pada trotoar yang dialihfungsikan menjadi lapak PKL atau warung-warung semipermanen mungkin para pejalan kaki masih dapat melintasinya dengan memilih untuk melewati celah-celah yang ada, tetapi lain halnya apabila yang terjadi adalah alihfungsi trotoar menjadi tempat parkir karena area trotoar pasti akan penuh dan mereka tidak memiliki pilihan lain selain ikut melintas di bahu jalan. Kalau lalu-lintas sedang lengang memang tak masalah, tetapi kalau lalu-lintas sedang padat akan menjadi masalah juga bagi para pengguna jalan yang sedang dilanda kemacetan. Para pejalan kaki dapat tersenggol atau tertabrak para pengguna jalan yang emosinya bisa meningkat akibat dilanda kemacetan dan merasa terganggu akibat ada pejalan kaki yang melintas di badan jalan, terutama para pengendara motor yang akan selalu berusaha memanfaatkan celah yang ada untuk melintas guna menghindari kemacetan yang berkepanjangan.
Hakikat Trotoar dan Sanksi bagi Pelanggarnya
Pada hakikatnya, trotoar adalah hak bagi para pejalan kaki dan hal tersebut telah diatur dengan jelas dalam Undang-Undang Lalulintas dan Angkutan Jalan No. 22/2009, diantaranya sebagai berikut:
- Pasal 25 ayat 1 “Setiap Jalan yang digunakan untuk Lalu Lintas umum wajib dilengkapi dengan perlengkapan Jalan berupa : fasilitas untuk sepeda, pejalan kaki, dan penyandang cacat.”
- Pasal 93 ayat 2 “Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan pemberian prioritas keselamatan dan kenyamanan Pejalan Kaki.”
- Pasal 106 ayat 2 “Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib mengutamakan keselamatan Pejalan Kaki dan pesepeda.”
Bagi pelanggarnya tentu ada denda atau sanksi yang telah jelas dalam Undang-Undang Lalulintas dan Angkutan Jalan No. 22/2009 pasal 284 yang berbunyi “Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor dengan tidak mengutamakan keselamatan Pejalan Kaki atau pesepeda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).” (Sumber: http://belajar.dedeyahya.web.id/2012/05/uu-trotoar-hak-milik-pejalan-kaki.html)
Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa alihfungsi trotoar sangat tidak dibenarkan karena dapat tergolong dalam pelanggaran hak bagi para pejalan kaki akibat rasa ketidakamanan dan ketidaknyamanan yang mereka rasakan. Apakah saat ini sudah ada ketegasan mengenai permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan alihfungsi trotoar seperti di atas? Tentu saja, belum sepenuhnya dengan alasan bahwa Indonesia adalah negara berkembang yang sedang belajar untuk lebih patuh dan taat pada hukum dan undang-undang yang berlaku. Namun, bagaimana Indonesia bisa menjadi negara maju kalau masalah seperti ini hanya dibiarkan begitu saja? Bahkan, di beberapa kota besar seringkali terjadi bentrok antara para pengalihfungsi trotoar dengan para Petugas Satpol PP yang menertibkan mereka. Para pengalihfungsi trotoar berdalih jika mereka melakukannya karena alasan ekonomi dan tidak tersedianya lahan, sedangkan tentu saja para Petugas Satpol PP melakukan penertiban karena itu merupakan tugas mereka. Nah, di sinilah pokok-pokok permasalahan yang ada mulai terkuak. Sayangnya untuk saat ini rencana para petinggi daerah untuk menyediakan lapangan kerja yang lebih banyak dan ruang kerja yang lebih layak belum dilaksanakan dengan optimal. Buktinya, masih banyak terjadi alihfungsi trotoar baik itu menjadi sebuah titik perniagaan seperti lapak PKL maupun warung-warung semipermanen ataupun menjadi tempat parkir dan jalan alternatif bagi para pengendara kendaraan bermotor di kala kemacetan lalu-lintas melanda.
Trotoar dan Manusia di Sekitarnya
Alihfungsi trotoar menjadi lapak PKL atau warung-warung semipermanen dapat terjadi akibat beberapa faktor, diantaranya:
- Faktor pendidikan dan kurangnya keterampilan kerja. Biasanya, para PKL atau pemilik warung-warung semipermanen tidak memiliki keterampilan kerja yang memadai akibat tidak pernah mengenyam pendidikan atau pernah mengenyam pendidikan dasar dan menengah, tetapi tidak tamat akibat faktor ekonomi keluarga pada saat itu. Bekerja sebagai PKL atau berdagang di warung-warung memang pekerjaan yang halal, tetapi pastilah mereka menginginkan pekerjaan yang lebih baik. Apabila keterampilan kerja itu dimiliki oleh mereka, paling tidak mereka dapat memiliki pekerjaan tetap dan penghasilan yang cukup untuk menghidupi keluarganya.
- Faktor ekonomi dan kurangnya lapangan pekerjaan. Tidak semua PKL atau pemilik warung-warung semipermanen menginginkan pekerjaan yang mereka lakoni saat ini. Akan tetapi, faktor ekonomilah yang mendorong mereka. Harga kebutuhan pokok yang semakin hari semakin melambung membuat masyarakat kecil, terutama para ibu rumah tangga kesulitan untuk mengatur keuangan rumahtangga apabila hanya menggantungkan diri pada upah yang diperoleh sang kepala keluarga. Oleh karena itu, mereka membantu sang suami mencari nafkah dengan membuat lapak atau warung-warung semipermanen di trotoar karena tidak adanya biaya untuk menyewa lahan atau bangunan yang lebih layak. Atau bisa saja mereka merupakan masyarakat menengah ke bawah yang terpaksa menjadi PKL atau pedagang di warung-warung semipermanen karena sulitnya mencari pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan mereka.
Alihfungsi trotoar menjadi tempat parkir atau jalan alternatif bagi para pengendara kendaraan bermotor dapat terjadi akibat beberapa faktor, diantaranya:
- Tidak tersedianya lahan yang cukup untuk digunakan sebagai tempat parkir, terutama di wilayah perkotaan. Seringkali ruang usaha yang dimiliki berdiri persis di depan trotoar dan tidak memiliki tempat parkir khusus sehingga tidak ada tempat lain selain trotoar. Inilah yang harus dipertimbangkan oleh para pengusaha sebelum membangun ruang usahanya, apalagi yang terletak di tepi jalan raya yang memiliki trotoar. Selain dapat mengganggu para pejalan kaki, hal ini juga dapat mengganggu para pengguna jalan yang lain karena tak jarang perjalanan mereka terhambat akibat terhalangnya sebagian badan jalan oleh kendaraan-kendaraan bermotor yang diparkirkan secara liar.
- Kurang luasnya ruas jalan raya. Ruas jalan raya yang lebarnya memadai pasti akan menjadi sebuah nilai plus karena dapat menampung kendaraan yang lebih banyak, bahkan pada saat lalu-lintas padat sekalipun tanpa menimbulkan kemacetan. Berbeda dengan ruas jalan raya yang lebarnya kurang memadai, kendaraan yang dapat ditampungnya hanya terbatas jumlahnya sehingga seringkali menimbulkan kemacetan akibat menumpuknya volume kendaraan bermotor. Akibatnya, para pengendara kendaraan bermotor yang kurang sabar berusaha untuk keluar dari kemacetan dengan mengemudikan kendaraannya di sepanjang trotoar.

- Perbaikan kualitas pendidikan dan peningkatan keterampilan kerja melalui wajib belajar 12 tahun, memperbanyak pembangunan SMK baru dengan kompetensi keahlian yang sesuai dengan kondisi wilayah di mana SMK tersebut didirikan, dan memperbanyak pelatihan keterampilan kerja bagi masyarakat umum. Dengan demikian, keterampilan kerja yang dimiliki akan sangat bermanfaat karena dapat digunakan untuk mengembangkan potensi daerah demi kemakmuran bersama.
- Penyediaan lapangan kerja dan lahan untuk ruang usaha dengan harga terjangkau. Adanya keterampilan kerja tanpa tersedianya lapangan kerja akan terasa sia-sia. Selain itu, masyarakat kecil dapat memiliki usaha sendiri apabila lahan untuk ruang usaha memiliki harga yang terjangkau. Untuk lebih efektifnya, lahan ini dapat dibuat menyerupai pasar dengan pembagian wilayah untuk jenis-jenis usaha yang ada di dalamnya. Tentunya, dapat lebih mudah diawasi kondisinya oleh pemerintah agar tidak terjadi penyalahgunaan.
- Pembuatan peraturan bahwa setiap ruang usaha yang didirikan tepat di tepi jalan raya wajib memiliki tempat parkir tersendiri yang memadai agar pengunjung tidak memarkirkan kendaraannya di trotoar, apalagi sampai menggunakan separuh badan jalan.
- Perluasan jalan raya agar dapat menampung lebih banyak kendaraan di saat jam-jam sibuk sehingga tidak menimbulkan kemacetan, pembuatan rekayasa arus lalu-lintas di saat jam-jam sibuk ataupun di ruas-ruas jalan raya yang lalu lintasnya padat, dan pengalihan arus lalu-lintas di ruas-ruas jalan raya yang lalu lintasnya padat ke jalur-jalur alternatif yang telah tersedia.
Pemerintah perlu mempertegas peraturan-peraturan yang ada dan masyarakat perlu untuk memahami dan mentaatinya sehingga dapat terciptanya suasana yang kondusif mengenai trotoar dan bagaimana semestinya fasilitas umum yang menjadi hak bagi para pejalan kaki itu berfungsi. Semoga sebuah opini yang mungkin tidak runtut dan kurang jelas dipahami ini dapat membuka mata dan hati para pembaca untuk dapat ikut berpartisipasi menjadi Warga Negara Indonesia yang baik. Aamiin :)
This entry was posted
on 13.33.00
.
You can leave a response
and follow any responses to this entry through the
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
.